Alih-alih mencari objektivitas dari kekacauan subjektivitas model hukum alam dan mazhab historis, hukum yang cenderung positivistik juga turut menyayat nurani namun dengan kemasan berbeda. Teks lebih kuasa dari konteks.
Profesor Satjipto Rahardjo bahkan melakukan kritik keras atas kenyataan hukum hari ini.
Menurutnya hukum hari ini, yang didominasi nalar-nalar positivisme, tidak bisa memastikan bahwa yang benar adalah yang menang. Yang menang adalah yang mampu berargumentasi dengan baik disertai alat bukti yang mendukung. Law is the art of interpretation.
Masyarakat Indonesia hari ini juga merasakan hal serupa. Kebiasaan “damai” dan kesalingan mulai luntur. Budaya “ditengah-tengahi” juga jarang ditemukan. Seolah apa yang dinamakan keadilan itu hanya dapat diraih dari meja hijau.
Jika para pihak menerima keputusan maka selesailah sudah perkara, namun jika masing-masing pihak tidak menerima maka dendam dan amarah adalah asap yang timbul setelahnya.
Semua yang muncul hari ini adalah akibat. Akibat dari masih dipertahankannya pola penegakan hukum ala kolonial yang berpedoman pada Civil Law di Indonesia.
Padahal sejatinya masyarakat Indonesia, ataupun di negara lain yang pernah merasakan pengalaman penjajahan, amatlah asing dengan budaya seperti ini.
Budaya yang mengedepankan prosedur yang berbelit dan kadang justru mempersulit masyarakat memperoleh keadilan. Bahkan pada hal-hal yang menurut kasat mata semestinya kejahatan itu bisa ditindak dengan cepat dan transparan.
Keringnya Pemahaman Equality Before the Law
Salah satu kekeliruan penghambaan pada teks kerap kali muncul melalui jargon yang terkesan mewah namun miskin penerapan. Salah satunya adalah jargon “equality before the law”. Jargon itu pulalah yang menjadi ide dan semangat dari aliran positivisme hukum.
Kesetaraan Sebatas Teks
Bagi sebagian orang prinsip kesetaraan di mata hukum itu baru dimaknai sebatas teks an sich. Kata “barangsiapa” adalah ungkapan universal yang menggambarkan itu. Siapapun. Tidak peduli jabatan, tingkat pendidikan, jumlah kekayaan, ataupun status sosial. Itulah, bagi sebagian orang, wujud daripada kesetaraan dalam hukum.
Padahal kesetaraan di dalam hukum amatlah luas. Banyak kesetaraan lain yang perlu dipenuhi seperti kesataraan untuk turut memperoleh perlakuan yang sama.
Diperlakukan Sama
Secara yuridis setara bisa ditentukan. Namun secara sosiologis setara itu bias. Terlebih di dalam konteks masyarakat yang masih memiliki kebudayaan yang luhur seperti menghormati orang yang lebih tua, menghormati yang lebih kaya, dan bentuk penghormatan lainnya.
Keadaan ini kemudian mempengaruhi perolehan perlakuan setara yang selanjutnya, yakni memperoleh perlakuan setara baik di mata masyarakat umum maupun di mata penegak hukum.
Penegak hukum bagaimanapun konsep pendidikannya mereka tetaplah lahir dari rahim rakyat. Dulunya mereka juga sama bergaul, bergumul, dan berkumpul dengan kehidupan sosial yang terbuka tur bebas.
Pola pikir sosiologis itu tidak sepenuhnya bisa hilang dari ingatan seseorang yang saat ini mungkin berkesempatan menjadi seorang penegak hukum.
Masyarakat paham betul pada kondisi yang memang nyata itu. Mereka bahkan tidak hanya mendengar tetapi melihat bahkan merasakan langsung.
Ingatan atas pendengaran, perasaan, dan penglihatan itu biasanya oleh masyarakat diungkapkan dalam celoteh. Kita ketahui celoteh itu sering muncul dalam guyonan rakyat “kita mah siapa paling tidak urus kalau melapor”.
Problem kesetaraan selanjutnya adalah persoalan akses. Baik akses sebab akademis dan geografis maupun akses sebab ekonomis.
Tidak jarang banyak ketidakadilan muncul karena pelapor kesulitan memahami istilah-istilah hukum dan prosedur yang rumit. Selain itu terdapat juga, di negara kepulauan seperti di Indonesia, problem kesukaran untuk menjangkau lembaga penegakan hukum.
Sisi lain tidak kalah sering dirasakan juga adalah adalah sisi “ongkos”. Kadangkala aturan telah mengakomodir nihil biaya tetapi masih sering saja terdapat pengeluaran yang entah karena “tidak enak” ataupun juga memang diminta. Ketiga hal ini juga perlu disetarakan agar prinsip kesetaraan di mata hukum berjalan secara menyeluruh dari hulu ke hilir.
Bagi mereka yang mapan mungkin kesetaraan yang didambakan amatlah dekat dengan denyut nadi. Tetapi bagi mereka yang masih kekurangan, baik tingkat pendidikan, biaya dan sarana, mungkin hanya dapat menggigit jari dan pasrah.
Inilah problem yang perlu diatasi oleh Pemerintah sebagai jembatan yang melindungi kepentingan masyarakat banyak.
Diadili Penegak hukum
Kesetaraan selanjutnya yang luput dari pembahasan adalah kesetaraan untuk dapat diadili oleh penegak hukum yang memiliki keilmuan, baik secara kognitif maupun nurani, sama. Inilah problem klasik mimpi mewujudkan kesetaraan yang selanjutnya.
Positivisme mungkin bisa menjawab dengan membentuk standar hukuman yang ketat. Semacam dibuat pedoman tentang tindakan dan bobot kejahatan yang dilakukan lalu dikalkulasikan menjadi jumlah hukuman. Hasilnya bisa mendekati sama bahkan bisa diterapkan di seluruh Indonesia.
Tetapi itu bukan jawaban. Sebab ada aspek nurani yang tidak sepenuhnya bisa dirobotkan. Nurani mesti datang dari pengalaman hidup yang mendalam dan kebiasaan melatih ruh.
Perlakuan untuk diadili oleh penegak hukum yang setara itu tidak jarang menimbulkan apa yang disebut sebagai “disparitas keadilan”. Inilah letak pentingnya memberi ruang pada mereka yang ahli di berbagai bidang untuk membantu penegak hukum merumuskan keputusannya.
Jika merujuk pada konsep model hukum modern maka kita bisa lebih mengembangkan apa yang telah dilakukan hari ini dengan mengadopsi restorative justice (mediasi, diversi, dan sebagainya). Tidak salah juga jika sesekali mengkombinasi hukum acara dengan model juri seperti di Korea Selatan.
Penutup
Itulah problem hukum di Indonesia yang saya rasa masih akan terus berlanjut di tahun 2022 ini. Kita hanya bisa beranjak dan melakukan perubahan yang cepat jika kita berani untuk beralih dari positivisme hukum menuju kepada hukum adaptif.
rmolbengkulu.id/mewujudkan-kesetaraan-hukum